UIN SUNAN KALIJAGA MELALUI LPPM JADI MITRA KEMENTERIAN AGAMA RI DAN DEKS BI DALAM PROSES REVISI UU WAKAF 41/2004
Yogyakarta, 4 Desember 2025 – Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI bekerja sama dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta serta Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank Indonesia menyelenggarakan Forum Hearing Akademik Draf Revisi Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, pada Kamis, 4 Desember 2025 di Hotel Royal Ambarrukmo Yogyakarta.
Forum ini menjadi ruang strategis untuk memperkuat landasan akademik dan regulatif revisi UU Wakaf, dengan menghimpun perspektif para regulator, akademisi, praktisi, dan pemangku kepentingan perwakafan nasional. Kegiatan ini bertujuan menghasilkan rekomendasi menyeluruh agar regulasi wakaf lebih adaptif, akuntabel, dan relevan dengan dinamika ekonomi syariah kontemporer.
PENGUATAN REGULASI WAKAF SEBAGAI PILAR EKONOMI SOSIAL NASIONAL
Acara dibuka oleh Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Noorhaidi Hasan, S.Ag., M.A., M.Phil., Ph.D., yang menegaskan pentingnya memperbarui kerangka hukum wakaf untuk menjawab perkembangan instrumen keuangan syariah global. Beliau menekankan bahwa wakaf, sebagaimana konsep endowment di berbagai negara, terbukti mampu menjadi penopang akademik, riset, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat. Dengan regulasi yang lebih kuat, wakaf berpotensi menjadi sumber pembiayaan alternatif yang signifikan bagi pembangunan nasional.
Sebelumnya, H. Jaja Zarkasyi, S.Th.I., Kasubdit Pengawasan dan Pengamanan Harta Benda Wakaf Kemenag RI, menyampaikan bahwa proses revisi UU 41/2004 merupakan langkah komprehensif untuk meningkatkan kepastian hukum, memperkuat tata kelola, serta membuka ruang inovasi wakaf produktif, khususnya wakaf uang. Forum di Yogyakarta ini secara khusus difokuskan pada isu-isu strategis seputar pengembangan wakaf uang dan tantangan kelembagaan.
Sementara itu, Prof. Waryono Abdul Ghafur, Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf, menekankan bahwa perubahan regulasi ini harus mengakomodasi perkembangan praktik wakaf modern, termasuk integrasi teknologi, 3M (menghimpun, mengelola, mengembangkan), serta diversifikasi wakaf uang. Beliau mengingatkan bahwa inovasi harus tetap menjaga prinsip dasar syariah: harta wakaf tidak boleh diperjualbelikan.
Perwakilan Bank Indonesia, Yono Haryono, Ph.D., menegaskan bahwa reformasi regulasi wakaf merupakan bagian dari agenda besar transformasi ekonomi syariah menuju Indonesia Emas 2045. Wakaf didorong agar berperan dalam fungsi fiskal, moneter, dan pembangunan nasional. Ia juga memaparkan perlunya penyederhanaan regulasi, penguatan supervisi, hingga kemungkinan pembentukan sovereign wealth fund berbasis wakaf.
SESI 1 – REFORMULASI NORMA DAN MODEL PEMBERDAYAAN WAKAF
Pada sesi pertama, Kasubdit Bina Kelembagaan Zakat dan Wakaf, Muhibuddin, S.Fil.I., M.E., memaparkan persoalan fundamental dalam pengelolaan wakaf saat ini, antara lain:
- penguatan asas dan unsur wakaf,
- peningkatan peran dan kapasitas nazhir,
- optimalisasi wakaf uang, surat berharga, dan wakaf kolektif,
- transformasi digital administrasi wakaf,
- kebutuhan supervisi dan sanksi yang lebih tegas bagi pelanggaran.
Akademisi UIN Sunan Kalijaga, Dr. Gusnam Haris, menekankan bahwa BWI harus berfungsi sebagai arsitek wakaf nasional—mengatur arah kebijakan, standar, dan pengawasan—tanpa mematikan peran masyarakat. Ia menyoroti beberapa poin penting:
- urgensi peran BWI sebagai lembaga yang independen dari APBN,
- perlunya aturan pendaftaran wakaf yang jelas dan efisien,
- bahaya jika negara mengambil alih peran masyarakat (NU, Muhammadiyah, takmir),
- perlunya mempertimbangkan ikrar wakaf online sebagai pengganti kehadiran fisik,
- regulasi harus mengakomodasi wakaf berbasis budaya (urunan, BMT masjid, tradisi lokal).
Akademisi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, H. Mukhlis Rahmanto, Ph.D., menambahkan kritik teknis terhadap draf revisi, antara lain:
- regulator tidak boleh sekaligus menjadi pelaksana wakaf (peran BWI vs nadzir),
- evaluasi imbal hasil maksimal 15% bagi nazhir,
- penyederhanaan kategori benda wakaf (bergerak vs tidak bergerak),
- keselarasan aturan istibdal dengan PP,
- perlunya istilah yang lebih mudah dipahami,
- kebutuhan pengaturan wakaf keluarga (dzurri), corporate waqf, serta perlindungan aset melalui asuransi.
Tanya Jawab Sesi 1 – Masukan Kritis Peserta
Peserta menyampaikan sejumlah isu penting:
- perlunya perubahan singkatan LPS agar tidak rancu,
- status wakaf temporer vs permanen dalam draf revisi,
- apakah wakaf hanya untuk umat Islam atau bisa inklusif,
- urgensi sistem monitoring digital yang dapat diakses publik.
Para pemateri menegaskan bahwa:
- penguatan investment skill nazhir masih sangat dibutuhkan,
- sistem pengawasan manual dan digital harus diperkuat,
- regulasi tidak boleh membatasi besaran harta yang diwakafkan,
- perlu adanya pedoman pergantian nazhir yang tidak menjalankan tugas,
- aturan wakaf berjangka harus dipertegas,
- partisipasi masyarakat harus tetap diutamakan agar wakaf tidak tersentralisasi pada negara.
SESI 2 – EKOSISTEM WAKAF SEBAGAI INSTRUMEN KEUANGAN SYARIAH
Pada sesi kedua, Dr. Roy Renwarin, CWP®, CWS® (Yayasan Edukasi Wakaf Indonesia) menguraikan pentingnya reformasi struktur regulasi untuk memperkuat dana abadi, kemandirian daerah, dan dampak sosial ekonomi wakaf uang.
Masukan kritis terhadap draf revisi meliputi:
- Pasal 10: definisi badan hukum harus tegas, pemerintah idealnya regulator, bukan nazhir.
- Pasal 13: imbalan nazhir harus berbasis success fee dari hasil bersih.
- Pasal 17: frasa ambigu tentang “benda berharga lain” harus dihapus.
- Pasal 23: wakaf sebaiknya tidak diarahkan untuk pembiayaan sarana pemerintah.
- Pasal 42: perlu keselarasan aturan wakaf bergerak dan tidak bergerak.
- Pasal 51: kewenangan BWI harus difokuskan pada pembinaan dan pengawasan, bukan operasional.
Dr. Roy juga menyoroti risiko besar karena tingginya porsi kepemilikan asing pada bank syariah yang bertindak sebagai nazhir wakaf uang, sehingga diperlukan regulasi yang lebih ketat terkait keamanan dan pengawasan.
Pemateri kedua, Dr. Moh. Mufid, menekankan pentingnya:
- penyederhanaan istilah agar publik lebih mudah memahami konsep wakaf,
- tata kelola aset dan laporan keuangan yang transparan,
- manajemen risiko dan perencanaan yang matang untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat.
Tanya Jawab Sesi 2 – Penguatan Peran Masyarakat
Masukan peserta mencakup:
- persoalan overlapping kewenangan BWI dan Kemenag,
- minimnya publikasi literasi wakaf,
- peran pesantren besar seperti Tebuireng dalam kemandirian wakaf nasional,
- popularitas wakaf intifa’ yang lebih fleksibel dan perlu difasilitasi regulasinya.
Para pemateri menjawab bahwa:
- BWI diatur ketat oleh PP 42/2006 sehingga tidak dapat mengambil alih seluruh wakaf,
- literasi wakaf perlu digencarkan melalui mahasiswa, KKN, komunitas, dan media,
- negara harus hadir sebagai regulator saja, sedangkan masyarakat tetap aktor utama,
- revisi regulasi harus teliti agar tidak memunculkan persoalan baru.
PENUTUP – KOMITMEN BERSAMA MENGAWAL REVISI UU WAKAF
Forum Hearing Akademik ini menegaskan pentingnya konsolidasi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat dalam menyusun revisi UU 41/2004 agar lebih komprehensif, solutif, dan adaptif dengan perkembangan zaman.
Masukan strategis yang muncul—mulai dari aspek kelembagaan, teknologi, model bisnis, sektor prioritas, hingga perlindungan aset—akan menjadi bahan penting bagi Kementerian Agama sebelum draf revisi memasuki proses legislasi berikutnya.
Forum ini juga menutup dengan komitmen untuk terus memperkuat ekosistem wakaf nasional yang profesional, transparan, dan berorientasi keberlanjutan, sehingga wakaf dapat menjadi instrumen keuangan sosial yang efektif dalam meningkatkan kesejahteraan dan daya saing Indonesia.