MENGENAL WALIYULLAH K.H. ABDUL CHAMID UTSMAN

K.H. Abdul Chamid Ustman
LP2M -K. H. Abdul Chamid Utsman adalah Ulama dan juga Waliyullah bergelar Shohibul Karomah wal Fadhilah al-Waliyullah yang wafat pada tahun 1989, beliau merupakan pendiri Pondok Pesantren Bodho Nadhatul Tulab yang terletak desa banjaragung Kecamatan Kajoran.daerah tersbeut menjadi nisbah kepada beliau sehingga orang mengenalnya dengan panggilan Mbah Chamid Kajoran. Beliau memiliki 6 orang anak, 5 putra, dan satu putri.
Berdasarkan cerita yang dibagikan oleh putri beliau yaitu Ny. Hj. Qo'idah Hamid sewaktu Mahasiswa KKN 105 Kelompok 22 mengunjungi rumah beliau, Mbah Chamid kajoran ialah kyai yang unik dengan berbagai karamahnya.
Di daerah tempat beliau mendirikan pondok, ada sebuah makam cucu rasulullah yaitu Sayyid Abdurrahman, namun pada saat itu makam tersebut tidak terlalu terawat, bukan karena tidak ada yang mau, akan tetapi dikarenakan berbagai kejadian aneh yaitu pernah ada seorang masyarakat yang hendak membangun makam tersebut.
Di hari pertama masyarakat tersebut mulai mendirikan pondasi untuk makam tersebut, namun di hari kedua untuk melanjutkan pembangunannya, masyarakat tersebut menyadari bahwa pondasi yang sebelumnya dibangun sudah tidak ada, dan batu, semen, serta bahan-bahan bangunannya sudah tersusun kembali seperti sediakala seperti tidak pernah di gunakan sama sekali, hal tersebut terjadi lebih dari sekali. sehingga pada akhirnya Mbah Chamid mencoba untuk membangun makam tersebut.
Pembangunan makam tersebut tidak langsung dikerjakan Mbah Chamid sebagaimana yang dilakukan warga pada umumnya, akan tetapi Mbah Chamid terlebih dahulu bermujahadah di sekitaran makam tersebut dengan mengajak anak keturunnya untuk turut ikut serta bermujahadah, sebab diceritakan, di makam tersebut juga terdapat sebuah pohon besar yang tidak terlalu tinggi yang sebagian masyarakat mempercayai pohon tersebut sebagai sesuatu yang keramat, sehingga siapa saja yang mencoba menebang atau mengambil sesuatu dari pohon tersebut akan terjadi hal yang buruk kepadanya, dan pohon tersebut juga dijadikan masyarakat untuk menandakan keberuntungan dan kesialan, apabila daun pohon tersebut berwarna hijau lebat, maka masyarakat sangat senang dikarenakan mereka akan menjadi makmur dan sejahtera, dan apabila daun pohon tersebut kering mereka akan menjadi takut karena kehidupan mereka akan menjadi buruk dan kekeringan. Melihat kondisi masyarakat yang seperti itu Mbah Chamid khawatir akan terjerumusnya masyarakat kedalam kesyirikan.
Setelah sekian lama bermujahadah, terlebih dahulu Mbah Chamid mencoba untuk menebang pohon tersebut untuk menghindari terjadinya kesyirikan, dan ketika menebang pohon tersebut seakan-akan hal yang tidak masuk diakal terjadi, pohon yang sebelumnya merunduk kearah kanan dan diperkirakan ketika ditebang juga jatuhnya ke arah tersebut, tetapi ketika ditebang pohon tersebut malah jatuh ke arah kiri sehingga membuat masyarakat merasa khawatir, dan setelah beberapa waktu setelah penebangan tersebut dilakukan, tidak terjadi sesuatu yang dikhawatirkan tersebut dan Mbah Chamid pun mulai melanjutkan untuk membangun makam mbah tugur, dan kayu yang dipakai pada pintu masuk makan mbah tugur tersebut merupakan kayu asli dari hasil penebangan pohon tersebut tanpa dipotong sama sekali, dikarenakan pohon tersebut tumbuh dengan melengkung tidak tumbuh normal keatas seperti pohon pada umumnya. (Ibnu Amin, 2021)