PELAKU USAHA DESA WISATA DAN WARGA DUSUN SEMBEGO MENERIMA SOSIALISASI EDU-WISATA DI TENGAH PANDEMI COVID-19

LP2M -Kabupaten Sleman merupakan salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki 17 kecamatan, 86 desa, dan 1.212 dusun. Luas wilayahnya 574,82 km2 (18% dari luas DIY). Kabupaten Sleman merupakan salah satu kawasan yang memiliki potensi wisata alternatif, khususnya terkait dengan keragaman budaya dan keunikan alam. Wisata pedesaan (village tourism) berpotensi sebagai alternatif strategis pengembangan kegiatan kepariwisataan. Dusun Sembego merupakan salah satu padukuhan yang memanfaatkan potensi itu dan telah membangun pundi-pundi wisata desa sebagai lumbung ekonomi warga setempat. Sebagai desa wisata rintisan, Dusun Sembego telah membangun pasar burung, wisata buah, dan wisata lembah ngasem yang dilengkapi kesenian Kudho Paseso dan Karawitan. Namun hingga kini, Desa Wisata Sembego masih membutuhkan pembinaan dan bantuan pemberdayaan agar tetap eksis di tengah terpaan pandemi Covid-19.

Dalam rangka penguatan (survive) itu pula kelompok KKN 20 Tematik Desa Wisata Sembego untuk pertama kalinya menggelar “karpet merah” sosialisasi edu-wisata secara daring yang langsung disampaikan oleh Ibu Nyoman Rai Savitri, S.Psi., M.Ec.Dev dari Dinas Pariwisata Kabupaten Sleman pada Sabtu, 31 Juli 2021, pukul 09.00 hingga selesai. Pada kegiatan ini juga dihadiri oleh Ibu Nurainun Mangunsong selaku dosen pendamping lapangan yang memberikan sambutan hangat sekaligus penyerahan kelompok KKN 20 pada Dukuh Sembego, Bapak Sarjono. Kendatipun kegiatan sosialisasi edu-wisata secara daring namun di padukuhan sendiri dihadiri oleh aparatur dusun dan pelaku usaha desa wisata serta warga.

Dalam sosialisasinya, Ibu Nyoman menjelaskan bahwa Desa Wisata adalah kawasan dalam suatu desa yang memiliki karakteristik khusus untuk menjadi daerah tujuan wisata berwawasan lingkungan dengan mengutamakan aspek konservasi alam, sosial dan budaya, pemberdayaan ekonomi masyarakat, dan pengelolaannya atas dasar inisiatif dan permufakatan warga masyarakat setempat. Wisatawannya adalah pengunjung yang tidak sekedar konsumen tapi juga pembelajar atas objek wisata desa yang disajikan. Mereka akan melihat dan merasakan langsung pengalaman hidup dalam suasana desa meliputi: alam, lingkungan, budayanya, menghormati, dan bertanggung jawab terhadap pelestariannya.

Bu Nyoman juga menjelaskan indikator klasifikasi desa wisata yang meliputi potensi dan atraksi di desa wisata; kapasitas manajerial pengelola; desa wisata; peran serta masyarakat; amenitas; pemasaran dan promosi; kondisi dan sarana aksesibilitas; kunjungan wisatawan; dan kepemilikan aset di desa wisata. Dengan demikian, desa wisata memiliki ciri khas yang berbeda dengan destinasi wisata pada umumnya.

Ibu Nyoman juga menambahkan bahwa penting mengetahui tujuan pengembangan Desa Wisata agar tata kelolanya terarah. Adapun tujuan tersebut di antaranya menambah kuantitas dan kualitas keragaman produk atau diversifikasi produk untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan; menciptakan lapangan kerja untuk meminimalkan potensi urbanisasi; meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat; menjaga kelestarian budaya setempat dan lingkungan; dan menjaga kelestarian budaya setempat dan lingkungan. Untuk mencapai tujuan ini, pengelola desa wisata harus memahami kriteria dasar desa wisata yang akan dibangun dan dikembangkan seperti memiliki potensi produk.

Daya Tarik Wisata yang unik dan khas; memiliki komunitas masyarakat, sikap menerima dan komitmen yang kuat dari masyarakat setempat yang memperoleh dukungan dari pemerintah desa dan kecamatan; memiliki SDM lokal yang mendukung dan mengelola dari masyarakat setempat; memiliki peluang dan dukungan ketersediaan fasilitas dan sarana prasarana dasar; memiliki potensi dan kemampuan dalam menciptakan pasar Wisatawan; memiliki permodalan yang merupakan permodalan bersama; dan aset yang ada dimiliki oleh kelompok.

Untuk itu perlu diperhatikan syarat pembentukan Desa Wisata oleh pengelola di antaranya penyiapan sarana prasarana (akses jalan,lahan parkir, tempat kumpul/pendopo, toilet, homestay, dll); SDM pengelola yang terorganisir (Lembaga); minimal menyediakan 3 paket atraksi di luar outbond (bersifat experiencing); memiliki kunjungan wisatawan minimal setiap 2 atau 3 bulan sekali; dan atraksi yang dilakukan di lingkungan/rumah masyarakat. Setelah syarat dipenuhi maka mekanisme pengajuan desa wisata meliputi:

  1. Calon Desa Wisata melakukan persiapan;
  2. Pengajuan permohonan pendampingan (proposal) ke Dinas Pariwisata;
  3. Dinas Pariwisata melakukan peninjauan dan pembinaan;
  4. Pembentukan Pengurus yang dikukuhkan oleh Dinas Pariwisata;
  5. Pengelola Desa Wisata diikutkan dalam Forum Komunikasi Desa Wisata guna mempermudah pembinaan dan transfer knowledge diantara mereka.

Dalam kesempatan sosialisasi edu-wisata, Ibu Nyoman juga mengingatkan perlunya sinergitas antar lembaga dalam pengelolaan desa wisata. Ibu Nyoman berterima kasih bahwa LP2M telah bekerjasama dan kiranya program KKN ini terus berkelanjutan. Sebab, peran Pemerintah Daerah (Dinas Pariwisata) hanya meliputi sebagai regulator yang memberikan regulasi pengembangan desa wisata, dan sebagai fasilitator dan motivator yang memberikan fasilitasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan bagi SDM di desa wisata (keterampilan teknis pengelola-masyarakat dan SAPTA PESONA); membangun sinergitas dan networking dengan para pelaku wisata dan stakeholder pariwisata (PHRI, ASITA, HPI); pemasaran desa wisata melalui berbagai kegiatan, diantaranya pameran, travel dialog, famtrip, website, peliputan media, pelaksanaan event bersama; dan memfasilitasi komunikasi dengan instansi pemerintah provinsi dan pusat.

Dalam rangka penguatan, dinas pariwisata memiliki tiga bidang yakni bidang pengembangan SDM dan UP yang melakukan PUPM (Pagu Usulan Partisipasi Masyarakat) berupa pelatihan; Pendampingan Desa Wisata; Kampanye Sadar Wisata; Forum Komunikasi Pengelola Desa Wisata; Forum Komunikasi Pokdarwis; dan Klasifikasi Desa Wisata (setiap 2 tahun). Kedua bidang pengembangan destinasi dan ekonomi kreatif yang menyelenggarakan Festival Desa Wisata (setiap tahun), dan Pembuatan instalasi seni (icon/spot selfie) di desa wisata atau objek wisata (CBT). Ketiga bidang pemasaran yakni promosi dan pemasaran seperti pameran, travel dialog, famtrip, website, peliputan media massa, pelaksanaan event bersama seperti tour the Merapi, dan jelajah wisata.

Diakhir sesi, pelaku usaha desa wisata Sembego, Bapak Arif mengajukan pertanyaan ke Bu Nyoman, “Berkas apa saja yang perlu dipersiapkan Pokdarwis untuk menyiapkan legalitas?” Menurut Ibu Nyoman, persyaratan yang perlu dipersiapkan adalah pengelola, potensi (berupa uraian), dan nama wisata dan tema wisata.” Pertanyaan dilanjutkan oleh sdr. Ivan, “Untuk menentukan tema desa wisata apakah dengan melihat lingkungan yang ada atau bisa membuat tema desa wisata sendiri? Terkait dana bantuan apakah bisa didapat dari selain Bumdes? Menurut Bu Nyoman, tema dapat dibuat sendiri oleh pengelola dengan melihat lingkungan yang ada, jauh lebih baik jika bekerja sama dengan dinas-dinas lainnya. Dana bisa didapat dari mana saja. Jika memungkinkan bisa meminta bantuan dari industri, namun harus memiliki daya tarik yang kuat, karena industri cenderung memilih objek atau potensi wisata yang sudah baik. Wisata yang sudah besar relatif mudah mendapat bantuan. Dengan melihat jumlah kunjungan yang sudah banyak. Bumdes adalah anggaran pemerintah di desa yang bisa masuk ke sector perekonomian. Bisa dari kementerian, ada yang lewat Pemda terlebih dulu.

Dalam sosialisasi edu-wisata dapat disimpulkan bahwa inisiasi desa wisata berangkat dari warga yang bersumber dari karakteristik potensi desa yang dimiliki. Kemandirian dan kerjasama yang sinergis dalam pengelolaan desa wisata sangat dibutuhkan khususnya di masa pandemi. Upaya membangun ketahanan ekonomi warga melalui penggalian potensi desa wisata menjadi tantangan tersendiri karenanya harus bergotong royong. (Anyta, 2021)